Pembentukan di Tingkat Daerah (Dinas/Badan)
Pembentukan DPPPA di daerah dipengaruhi oleh dua faktor utama:
1. Era Otonomi Daerah (Pasca UU No. 32 Tahun 2004)
Dengan berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, urusan "Pemberdayaan Perempuan" dan "Perlindungan Anak" ditetapkan sebagai Urusan Pemerintahan Konkuren (urusan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah). Hal ini mendorong setiap daerah untuk membentuk perangkat daerah yang khusus menangani urusan tersebut.
2. Adopsi Nomenklatur Pusat (DPPPA)
Setelah Kementerian di pusat berubah menjadi KPPPA (meliputi urusan perempuan dan anak), instansi di daerah mulai menyesuaikan nomenklatur mereka, yang sebelumnya sering bernama:
* Kantor Pemberdayaan Perempuan (KPP)
* Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A/BPPPA)
Secara bertahap, lembaga-lembaga ini bertransformasi menjadi Dinas untuk melaksanakan fungsi pelayanan teknis operasional.
3. Penyesuaian Nomenklatur Terakhir (Mengikuti UU 23/2014 dan PP 18/2016)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, termasuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, harus dilaksanakan oleh Perangkat Daerah.
DPPPA di daerah kemudian dibentuk dan diresmikan melalui Peraturan Daerah (Perda) masing-masing wilayah, seringkali dengan kombinasi urusan lain, sehingga memiliki nomenklatur yang bervariasi:
* DPPPA (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)
* DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)
* DP3AP2KB (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana)
Intinya: Pembentukan DPPPA adalah bagian dari upaya desentralisasi untuk mendekatkan pelayanan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak langsung kepada masyarakat di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.